Saturday 10 April 2010

Mengintip Strategi ”Harga Heboh” Hypermarket

Sumber : http://bimandiri.wordpress.com

Pasar modern seperti hypermarket menerapkan strategi Everyday Low Prices (EDLP) yang dikombinasikan dengan strategi leader pricing, multiple unit pricing, price bundling, odd pricing, dan price lining untuk meningkatkan lalulintas konsumen dan penjualan barang pelengkap di dalam toko.
Harga rendah di hypermarket merupakan aplikasi ‘Everyday Low Price’ (EDLP) yang biasa diaplikasikan peritel dengan biaya operasional rendah dan pelayanan minimum. Strategi EDLP menekankan harga jual normal yang berkisar antara harga normal dan harga promosi ritel pesaing. EDLP berguna memperluas cakupan segmen pasar yang bisa dijangkau dan memungkinkan peritel hypermarket untuk menjangkau konsumen hampir dari seluruh strata sosial yang ada di masyarakat. Strategi ini sangat efektif diaplikasikan di Indonesia, yang mayoritas konsumennya berasal dari kalangan menengah bawah dan umumnya sangay peduli pada harga (price sensitive). Lewat strategi ini, sangatlah wajar jika banyak konsumen pasar tradisional kemudian beralih menjadi pelanggan hypermarket.
Buyer di hypermarket mempergunakan dua metode penetapan harga, yaitu metode biaya dan permintaan. Metode biaya menekankan penyusunan harga jual untuk mencapai tingkat keuntungan tertentu, sedangkan metode permintaan menekankan konsistensi peritel terhadap citra yang ingin dibangun dengan mempertimbangkan tuntutan konsumen. Buyer mengombinasikan kedua metode tersebut sesuai dengan situasi persaingan.
Manfaat kombinasi dua metode tersebut bagi manajemen hypermarket adalah :
1. Membangun image/citra gerai hypermarket sebagai gerai yang menawarkan harga rendah.
2. Memaksimalkan keuntungan pada saat gerai ritel pesaing menawarkan harga jual yang lebih tinggi.
Komponen utama dalam menentukan harga dengan menggunakan metode biaya adalah harga pokok pembelian dan gross margin yang ditetapkan. Sedangkan komponen aplikasi metode permintaan adalah harga jual pesaing di pasaran umum.
Struktur Penetapan Harga
Memanfaatkan kekuatan tawar menawar yang dimiliki, para buyer ritel bernegosiasi dengan pemasok untuk memperoleh diskon, rabat, insentif, komisi, dan bonus barang untuk setiap pembeliannya. Diskon yang diperoleh buyer tidak terbatas hanya pada diskon reguler sebagaimana pedagang pasar. Didukung kekuatan pembelian yang dimilikinya, buyer memperoleh sejumlah diskon tambahan yang akan menekan harga pokok pembelian.
Alhasil, dengan harga pokok pembelian yang rendah, mampu memberikan keleluasaan kepada buyer untuk meyusun harga jual sesuai dengan tingkat keuntungan yang diinginkan dan melakukan penyesuaian terhadap harga jual pesaing sebagai parameter permintaan pasar.Ini juga terkait dengan tingkat keuntungan yang ditetapkan jajaran top manajemen perusahaan ritel yang disesuaikan dengan tingkat pengembalian investasi yang diinginkan. Untuk mencapai tingkat keuntungan tertentu, buyer akan menggunakan rasio tingkat perputaran barang sebagai salah satu parameter dalam menyusun harga jual. Rasio perputaran barang menentukan besarnya nilai investasi yang harus dikeluarkan perusahaan ritel dalam bentuk persediaan untuk mencapai tingkat penjualan tertentu. Semakin tinggi nilai rasio perputaran suatu item produk, semakin cepat arus keluar-masuk produk tersebut di dalam gerai. Kondisi ini membuat investasi yang dikeluarkan perusahaan untuk produk tersebut dapat ditekan serendah mungkin.
Persentase gross margin yang rendah akan diterapkan buyer untuk produk yang memiliki karakter tingkat perputaran cepat dengan investasi persediaan rendah. Demikian pula sebaliknya. Besarnya persentase gross margin yang diterapkan pada setiap kategori produk berbeda satu sama lain. Persentase gross margin yang relatif rendah biasanya diterapkan buyer terhadap produk yang memiliki karakter brand image kuat, tingkat perputaran yang cepat, serta shrinkage rendah. Sedangkan persentase gross margin yang relatif tinggi biasanya diterapkan buyer terhadap produk dengan karakter sebaliknya atau produk yang diolah sendiri di dalam gerai.Persentase gross margin tertinggi diterapkan buyer untuk kategori produk bakery dan makanan siap santap (ready to eat), yaitu produk yang diolah sendiri di dalam gerai. Persentase gross margin untuk kedua kategori produk tersebut berkisar antara 30 – 70%.
Meningkatnya suhu persaingan bisnis ritel beberapa tahun terakhir, telah menimbulkan perubahan karakter terhadap produk pada kategori alat-alat elektronik (appliances). Jika pada dekade sebelumnya buyer menetapkan persentase gross margin yang relatif tinggi untuk kategori produk ini (berkisar 20 – 35%), namun dengan kondisi persaingan saat ini dan berubahnya karakter kategori produk ini yang semula ‘slow–moderate moving’ menjadi kategori produk ‘moderate-fast moving’, memaksa manajemen hypermarket untuk menetapkan persentase gross margin yang lebih rendah dari sebelumnya dengan kisaran 8 – 25%. Parameter terakhir buyer dalam menyusun harga jual adalah harga jual di pasaran umum dan harga jual gerai ritel pesaing. Ketika buyer memperhitungkan biaya yang dikeluarkan untuk menjual produk tersebut beserta target gross margin yang telah ditetapkan oleh top manajemen, buyer akan memperhitungkan tingkat harga jual pesaing sebagai salah satu parameter permintaan pasar. Hal inilah yang merupakan dasar digunakannya metode berorientasi permintaan.
Strategi ”Harga Heboh”di Hypermarket
”Harga Heboh” merupakan implementasi program promosi penjualan yang menekankan harga jual sangat rendah terhadap item promosi. ‘Harga heboh’ merupakan strategi penetapan harga yang umum dikenal sebagai ‘Leader Pricing’ yang didefinisikan sebagai harga yang bertujuan memancing konsumen untuk mendatangi gerai ritel dan meningkatkan pembelian tanpa rencana.’Harga Heboh’ bertujuan meningkatkan lalulintas konsumen dan mendorong penjualan barang pelengkap. Harga tersebut sangat fantastis bagi konsumen bahkan bagi pedagang pasar karena biasanya lebih rendah dari harga beli bersih yang diperolehnya dari vendor.
Ketika konsumen tertarik dengan harga item target yang sangat fantastis dan mengunjungi gerai ritel, konsumen akan dipancing untuk membeli produk lain yang tersedia di dalam gerai. Semakin banyak produk lain yang dibeli tanpa direncanakan sebelumnya oleh konsumen, maka program promosi yang dilancarkan manajemen ritel melalui ‘Harga Heboh’ berhasil mencapai tujuannya.Istilah yang digunakan manajemen pasar modern dalam ‘Leader Pricing’ berbeda-beda. Carrefour menggunakan ‘Harga Heboh’, Giant ‘Murah Abis’, Hypermart ‘Cek Harga’, Yogya ‘Harga Heran’ dan lain-lain Walaupun istilah yang digunakan berbeda pada dasarnya memiliki tujuan yang sama.Program promosi ritel memiliki sasaran jangka pendek dan jangka panjang. Sasaran jangka pendek dari program promosi ritel adalah bertujuan meningkatkan lalulintas konsumen untuk meningkatkan penjualan dan lebih ditujukan sebagai usaha pencapaian kinerja operasional dalam suatu periode waktu tertentu. Sasaran jangka panjang tentunya adalah untuk membangun image gerai ritel di benak konsumen agar berbeda dengan pesaingnya.
Dengan memosisikan diri sebagai peritel yang menawarkan harga rendah, hypermarket berusaha membangun image mereka sejalan dengan ’Positioning Market’ melalui penawaran harga rendah secara konsisten. Melalui program promosi berkala, hypermarket berusaha menawarkan harga yang jauh di bawah harga pasaran umum untuk membangun loyalitas konsumen. Walaupun demikian serendah apapun harga promosi hypermarket, buyer berusaha menetapkan harga jual mereka di atas harga pokok pembelian untuk memperoleh sejumlah keuntungan.
Fenomena hypermarket menjual produk di bawah harga pokok pembelian biasanya justru terjadi pada item non promosi. Ketika gerai pesaing menetapkan harga lebih rendah manajemen hypermarket melakukan penyesuaian harga jual harga pesaing untuk item produk yang sama. Tindakan ini dilakukan untuk mengantisipasi kondisi persaingan yang akan merusak image gerai mereka di mata konsumen yang terbatas hanya untuk item merupakan target konsumen. Di luar produk tersebut manajemen hypermarket cenderung untuk mengabaikan perbedaan harga jual mereka dengan gerai pesaing.
Untuk mendapatkan efek psikologis yang dramatis, buyer seringkali memanipulasi harga promosi dengan melakukan konversi terhadap unit satuan produk. Sebagai contoh, dengan menyediakan ayam utuh yang memiliki bobot rata-rata 0.8kg/ekor buyer mengkonversi unit satuan yang semula ‘kilogram’ menjadi ‘ekor’. Hasil dari cara ini, efek psikologisnya terhadap konsumen akan lebih dramatis dibandingkan dengan menawarkan harga per kg. Program promosi yang dikembangkan manajemen hypermarket tidak semata dilakukan untuk kepentingan manajemen hypermarket. Berbagai pihak yang terlibat didalam program promosi turut merasakan manfaat dari pelaksanaan program promosi tersebut. Manajemen hypermarket memperoleh manfaat langsung dengan meningkatnya penjualan di dalam gerai. Konsumen mendapatkan manfaat langsung dengan memperoleh kebutuhan dengan harga murah. Pemasok memperoleh manfaat dari aktifitas marketing yang dilakukan di dalam gerai untuk meningkatkan penjualan maupun image tentang merk dan produk mereka di mata konsumen.
Dengan manfaat yang akan turut diperoleh pihak vendor, buyer akan bernegosiasi dengan vendor untuk memperoleh sejumlah uang dalam bentuk ‘Promotion Fee’ sebagai biaya kompensasi atas aktifitas marketing vendor di dalam gerainya ditambah berkurangnya keuntungan yang diperoleh manajemen hypermarket akibat penurunan persentase gross margin yang ditetapkan selama periode promosi. Manajemen hypermarket menggolongkan ‘Por-motion Fee’ yang diperolehnya sebagai pendapatan komersial yang biasa disebut ‘Commercial Margin’.
Dari penjelasan yang telah disampaikan dapat diambil sutau kesimpulan bahwa harga rendah yang ditawarkan gerai hypermarket, bahkan pada periode promosi bisa lebih rendah 20 – 50% dari harga pasaran umum bukan karena manajemen hypermarket menerapkan politik dumping dalam menjalankan bisnisnya sebagai-mana yang diadukan Asosiasi Seluruh Pedagang Pasar Indonesia (ASPPI) kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KP-PU). Penetapan harga rendah hanyalah suatu strategi yang dikembangkan manajemen hypermarket untuk mengantisipasi panasnya suhu persaingan bisnis ritel saat ini, yang menekankan kepada harga rendah untuk menarik konsumen agar berbelanja di gerai mereka sehingga terbentuk loyalitas konsumen terhadap gerai yang akan menghasilkan keuntungan finansial bagi organisasi dalam waktu yang panjang.
Ketika situasi persaingan menekankan kepada harga rendah, manajemen hypermarket harus mampu menawarkan harga yang bersaing untuk mempertahankan usahanya dengan cara mengembangkan strategi EDLP dan program promosi ritel secara konsisten. Harga yang rendah dan program promosi berkala yang dikembangkan manajemen hypermarket menghasilkan tingkat keuntungan yang sangat tipis bagi organisasi hypermarket. Untuk mengantisipasi persaingan tanpa mengorbankan keuntungan tipis yang diperolehnya, manajemen hypermarket melalui buyer berusaha menekan harga pokok pembelian dengan melakukan negosiasi secara intensif untuk memperoleh sejumlah discount pembelian dari vendor. Dari sejumlah discount pembelian yang diperolehnya, harga pokok pembelian gerai hypermarket lebih rendah dari pedagang pasar tradisional.
Oleh karena itu sangatlah wajar jika harga jual gerai hypermarket jauh lebih rendah dibandingkan pasar tradisional tanpa harus mempraktekkan politik dumping.Berkembangnya bisnis ritel di Indonesia yang menambah panasnya suhu persaingan saat ini memang mengancam keberadaan pasar tradisional. Seiring bertambahnya waktu dan berubahnya demografi masyarakat, pasar tradisional tidak akan penah bisa bersaing dengan pasar modern jika pihak yang terlibat di dalam pengelolaan pasar tradisional tidak melakukan tindakan yang nyata untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen. Persoalan persaingan pasar tradisional dengan hypermarket sebenarnya tidak terbatas hanya pada persaingan harga akan tetapi persaingan tersebut lebih kepada memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen yang sangat kompleks.
Dari sisi persaingan harga, rendahnya kekuatan pembelian yang dimiliki pedagang pasar tradisional secara individu serta terbatasnya pengetahuan tentang manajemen ritel modern belum memungkinkan pedagang pasar tradisional untuk memperoleh berbagai macam manfaat yang bisa digali dari pihak vendor.Pedagang pasar tradisional bisa bersaing dengan gerai hypermarket dalam sisi harga jika melakukan konsolidasi di internal pedagang pasar dengan melakukan pembelian secara bersama-sama sehingga kekuatan pembeliannya meningkat secara signifi-kan. Sebagai tambahan, pedagang pasar tradisional yang diberi tugas menangani bagian pembelian harus membekali diri dengan pengetahuan dan kemampuan di bidang manajemen ritel yang bisa diperoleh dari buku-buku maupun pakar atau praktisi ritel. Bekal pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya bisa digunakan untuk menggali peluang dan manfaat yang bisa diambil dari pemasok sehingga mampu menekan harga pokok pembelian dan mengoptimalkan keuntungan yang diperolehnya.
DEPHUT SUSUN “ GRAND STRATEGY” RHL 15 TAHUN
Sumber : http://www.news.id.finroll.com

Departemen Kehutanan (Dephut) tengah menyusun "grand strategy" rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang berlaku selama 15 tahun, kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Dephut, Indriastuti.
Jakarta, 16/4 (Regional.Roll) - Departemen Kehutanan (Dephut) tengah menyusun "grand strategy" rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang berlaku selama 15 tahun, kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Dephut, Indriastuti.

"Dalam aturan ini, nantinya perencanaan dan implementasi RHL secara nasional baku berlaku untuk 15 tahun dan tak berubah-ubah, meski pemerintahnya atau kebijakannya berubah," ujar Indri, Kamis.

Dirjen mengatakan rehabilitasi sebaiknya memang dibuat strategi jangka panjang untuk mengatasi masalah pendanan rehabilitasi lingkungan di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Sampai saat ini, Indri optimis target program rehabilitasi lahan dan hutan (Gerhan) yang dimulai 2003 mampui merehabilitasi 5 juta lahan kritis. Hingga Desember 2008, realisasi Gerhan sudah mencapai tiga juta hektar dengan dana Rp8,7 triliun.

"Sementara itu soal rehabilitasi di kawasan hutan yang dipakai untuk kegiatan non kehutanan juga akan di atur dalam peraturan RHL ini," kata Indri.

Untuk rehabilitasi di kawasan hutan yang dipakai untuk kegiatan non kehutanan (reklamasi), Indri menjelaskan, pihaknya masih melakukan evaluasi terhadap upaya reklamasi di kawasan hutan yang dijadikan areal tambang itu.

"Kita secara berkala melakukan evaluasi, tapi memang tidak bisa digeneralisir semua perusahaan pertambangan melakukan reklamasi dengan baik atau pengusaha HPH secara maksimal mampu menanam di hutan yang sudah ditebangnya," jelas Indri.

Ia mengakui evaluasi Dephut pasca keluarnya PP soal reklamasi tahun 2007-2008 menemukan reklamasi di areal eks HPH atau areal tambang belum maksimal terlaksana.

"Tapi kami tak bisa menggeneralisir karena ada juga beberapa perusahaan tambang yang bagus dan konsisten melaksanakan reklamasi hutannya," kata Indri.

Kalau soal reklamasi di eks HPH atau di konsesi HPH aktif, kata Indri, Dephut melakukan evaluasi dengan tim khusus.

"Mungkin karena pengusaha (HPH) itu diberikan dana reboisasi (DR), sehingga ada kewajiban mereka membayar kembali DR atau iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Mereka jadi berpikir menanam atau rehabilitasi bukan lagi kewajibannya," katanya.

Menurut dia, baik pengusaha HPH atau pengusaha tambang dikenai kewajiban yang sama dalam merehabilitasi kawasan yang mereka kelola.

"Karena itu, keberhasilan rehabilitasi dan reklamasi juga jadi patokan layak atau tidak ijin mereka diperpanjang," jelas Indri.

Sebelumnya, Menhut MS Kaban juga menegaskan pemegang izin konsesi pertambangan wajib mereklamasi areal kawasan hutan yang dipinjamnya sampai izin konsesi berakhir dan tidak berhenti dengan menanam satu dua hektare saja.

"Bukan berarti kewajiban pengusaha cukup dengan rehabilitasi sekali, tapi itu tak berakhir selama ijin mereka diperpanjang. Itu (kewajiban reklamasi) berlaku terus," kata Kaban.

Ia menambahkan kewajiban pengusaha dalam mereklamasi juga tertuang dalam PP No.2/2008 tentang jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.

"UU itu juga mewajibkan pengusaha memberikan kontribusi pada kehutanan, agar kawasan hutan yang di buka itu kembali menjadi hutan nantinya," jelas dia.

Terkait dengan hal itu, dia minta pengusaha tambang lebih peduli terhadap upaya rehabilitasi dan reklamasi areal bekas pertambangan untuk menghambat makin luasnya areal kritis yang kini mencapai 23 juta hektare dan sekitar 40 juta hektare lainnya masuk kategori agak kritis
CAFTA TELAH DIMULAI…
sumber : Metrotvnews.com, Jakarta

Menandai diberlakukannya Perjanjian Perdagangan China – ASEAN (China - ASEAN Free Trade Area, CAFTA). Dengan kesepakatan ini,maka barang-barang antarnegara China dan ASEAN akan saling bebas masuk dengan pembebasan tarif hingga nol persen.

Sejumlah pengusaha menilai, sektor usaha kecil dan menengah akan tergilas karena serbuan barang-barang murah dari China. Dengan kesepakatan itu, sedikitnya delapan sektor industri Indonesia meminta penundaan CAFTA. Kedelapan sektor ialah, sektor industri besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, sektor kimia nonorganik, sektor elektronik, sektor furniture, sektor alas kaki, sektor petro kimia, serta pangan
Menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Cahyono. Dengan adanya CAFTA, serbuan produk China akan membikin pangsa pasar furnitur Indonesia turun hingga 50 persen, karena harga furnitur China lebih murah sekitar 20 persen.

Kendati ditolak, pemerintah tetap bergeming. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, strategi untuk menghadapi perdagangan bebas bukan dengan menunda melainkan dengan memperkuat industri dalam negeri. Ini berguna untuk menghadapi produk cina.
Pemerintah berjanji membantu sektor industri yang rentan kesulitan bersaing dengan produk China. Selain itu, hambatan nontarif juga akan diterapkan, berupa standardisasi produk impor masuk. Untuk 2010. CAFTA berlaku bagi enam negara ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam. Sementara untuk Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam akan berlaku 2015 mendatang.

Friday 5 March 2010

SISTEM MANAJEMEN STRATEGIS

Sistem manajemen strategis adalah proses merumuskan dan mengimplementasikan strategi untuk mewujudkan visi secara terus menerus secara terstruktur. Strategi adalah pola tindakan terpilih untuk mencapai tujuan tertentu. Pada mulanya, sistem manajemen strategis bercirikan: mengandalkan anggaran tahunan, berjangka panjang dan berfokus pada kinerja keuangan. Penerapan sistem manajemen strategis yang demikian di banyak perusahaan swasta mengalami kegagalan. Sebab-sebabnya antara lain: hanya 25% manajer yang memiliki insentif yang terhubung ke strategi, 60% perusahaan tidak menghubungkan anggarannya ke strategi, 85% dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam untuk membahas strategi tiap bulan, dan hanya 5% pegawai yang memahami strategi.

Namun sistem manajemen strategis tetap diperlukan karena perusahaan dituntut untuk berkembang secara terencana dan terukur, sehingga memerlukan peta perjalanan menghadapi masa depan yang tidak pasti, memerlukan langkah-langkah strategis, dan perlu mengarahkan kemampuan dan komitmen SDM untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Balanced scorecard yang dikembangkan oleh Norton dan Kaplan memberikan solusi terhadap tuntutan ini. Peran balanced scorecard dalam sistem manajemen strategis adalah: memperluas perspektif dalam setiap tahap sistem manajemen strategis, membuat fokus manajemen menjadi seimbang, mengaitkan berbagai sasaran secara koheren, dan mengukur kinerja secara kuantitatif.

Penggunaan balanced scorecard dalam konteks perusahan swasta ditujukan untuk menghasilkan proses yang produktif dan cost effective, menghasilkan financial return yang berlipat ganda dan berjangka panjang, mengembangkan sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen, mewujudkan produk dan jasa yang mampu menghasilkan value terbaik bagi customer/pelanggan.

Balanced scorecard diyakini dapat mengubah strategi menjadi tindakan, menjadikan strategi sebagai pusat organisasi, mendorong terjadinya komunikasi yang lebih baik antar karyawan dan manajemen, meningkatkan mutu pengambilan keputusan dan memberikan informasi peringatan dini, serta mengubah budaya kerja. Potensi untuk mengubah budaya kerja ada karena dengan balanced scorecard, perusahaan lebih transparan, informasi dapat diakses dengan mudah, pembelajaran organisasi dipercepat, umpan balik menjadi obyektif, terjadwal, dan tepat untuk organisasi dan individu; dan membentuk sikap mencari konsensus karena adanya perbedaan awal dalam menentukan sasaran, langkah-langkah strategis yang diambil, ukuran yang digunakan, dll.

Kelebihan sistem manajemen strategis berbasis balanced scorecard dibandingkan konsep manajemen yang lain adalah bahwa ia menunjukkan indikator outcome dan output yang jelas, indikator internal dan eksternal, indikator keuangan dan non-keuangan, dan indikator sebab dan akibat. balanced scorecard paling tepat disusun pada saat-saat tertentu, misalnya ketika ada merjer atau akuisisi, ketika ada tekanan dari pemegang saham, ketika akan melaksanakan strategi besar dan ketika organisasi berubah haluan atau akan mendorong proses perubahan. balanced scorecard juga diterapkan dalam situasi-situasi yang rutin, antara lain: pada saat menyusun rencana alokasi anggaran, menyusun manajemen kinerja, melakukan sosialisasi terhadap kebijakan baru, memperoleh umpan balik, meningkatkan kapasitas staf.

Adakah kemungkinan kegagalan dalam menerapkan balanced scorecard? Menyusun balanced scorecard bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak organisasi gagal membuat balanced scorecard karena berbagai sebab. Sebab-sebab itu antara lain: tidak ada komitmen pimpinan, terlalu sedikit staf terlibat, scorecard disimpan saja, proses penyusunan yang lama dan sekali jadi, menganggap balanced scorecard sebagai sebuah proyek, kesalahan memilih konsultan, atau menggunakan balanced scorecard hanya untuk keperluan pemberian kompensasi.

Siapa yang menggunakan balanced scorecard? Banyak organisasi swasta, pemerintah dan nirlaba yang telah menggunakan balanced scorecard 60% dari 1000 organisasi dalam Fortune menggunakan balanced scorecard. Balanced scorecard semakin banyak diadopsi di Eropa, Australia dan Asia oleh organisasi besar, menengah dan kecil. Industri pengguna balanced scorecard sendiri terdiri dari berbagai macam perusahaan, seperti bank, konstruksi, jasa konsultansi, IT, perminyakan, farmasi, penerbangan, asuransi, manufacturing, perusahaan dagang dan distribusi. Perusahaan yang menunjukkan keberhasilan luar biasa setelah menerapkan balanced scorecard adalah antara lain: MOBIL Oil yang pada tahun 1993 menempati posisi ke 6 dalam provitability, kemudian menjadi nomor satu pada periode 1995–1998; CIGNA pada tahun 1993 rugi $275 M, tahun 1994: menjadi untung sebesar $15 M dan tahun 1997 sebesar $98 M; BROWN & ROOT ENG. tahun 1993 rugi namun tahun 1996 menjadi nomor satu dalam pertumbuhan profit.

Wednesday 3 March 2010

Konsep Activity Based Costing (ABC)

Pengertian Activity Based Costing
Menurut Amin Wijaya Tunggal (2009:2) Activity-Based Costing adalah: “Metode costing yang mendasarkan pada aktivitas yang didesain untuk memberikan informasi biaya kepada para manajer untuk pembuatan keputusan stratejik dan keputusan lain yang mempengaruhi kapasitas dan biaya tetap”.
Menurut Bastian Bustami dan Nurlela (2009:25) Activity-Based Costing adalah: “Metode membebankan biaya aktivitas-aktivitas berdasarkan besarnya pemakaian sumber daya dan membebankan biaya pada objek biaya, seperti produk atau pelanggan, berdasarkan besarnya pemakaian aktivitas, serta untuk mengukur biaya dan kinerja dari aktivitas yang terikat dengan proses dan objek biaya”.
Menurut William K. Carter dan Milton F. Usry (2004:496) Activity-Based Costing adalah: “Suatu sistem perhitungan biaya di mana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang memasukkan satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan volume (non-volume-related factor)”.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Activity-Based Costing adalah suatu sistem perhitungan harga pokok produksi dengan berdasarkan atas aktivitas yang dikonsumsi oleh produk, di mana aktivitas mengkonsumsi sumber daya sehingga dapat dilakukan pengelolaan aktivitas secara lebih baik lagi.

Kelebihan dan Klemahan Metode Activity Based Costing (ABC)
Sebuah sistem yang ada tidak selalu memberikan nilai positif bagi sebuah perusahaan yang menggunakannya tetapi ternyata dapat juga memberikan nilai negatif bagi perusahaan. Sistem Activity Based Costing ternyata memiliki juga kelemahan yang harus diperhitungkan pula oleh perusahaan yang menggunakannya.
• Kelebihan dari sistem ABC
1. Dapat mengatasi diversitas volume dan produk sehingga pelaporan biaya produknya lebih akurat.
2. Mengidentivikasi biaya overhead dengan kegiatan yang menimbulkan biaya tersebut.
3. Dapat mengurangi biaya perusahaan dengan mengidentifikasi aktivitas yang tidak bernilai tambah.
4. Memberikan kemudahan kepada manajemen dalam melakukan pengambilan keputusan.

• Kelemahan dari sistem ABC
1. Mengharuskan manajer melakukan perubahan radikal dalam cara berfikir mereka mengenai biaya, yang pada awalnya sulit bagi manajer untuk memahami ABC.
2. Tidak menunjukkan biaya yang akan dihindari dengan menghentikan memproduksi lebih sedikit produk.
3. Memerlukan upaya pengumpulan data yang diperlukan guna keperluan persyaratan laporan keuangan.
4. Implementasi sistem ABC belum dikenal dengan baik sehingga prosentase penolakan terhadap sistem ini cukup besar.

Monday 22 February 2010

Artikel Kode Etik Profesi Akuntan Publilk

Kode Etik Profesi Akuntan Publik
Sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam tatanan global dan tuntutan transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar atas penyajian Laporan Keuangan, IAPI merasa adanya suatu kebutuhan untuk melakukan percepatan atas proses pengembangan dan pemutakhiran standar profesi yang ada melalui penyerapan Standar Profesi International. Sebagai langkah awal IAPI telah menetapkan dan menerbitkan Kode Etik Profesi Akuntan Publik, yang berlaku efektif tanggal 1 Januari 2010. Untuk Standar Profesional Akuntan Publik, Dewan Standar Profesi sedang dalam proses “adoption” terhadap International Standar on Auditing yang direncanakan akan selesai di tahun 2010, berlaku efektif 2011.
Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang baru saja diterbitkan oleh IAPI menyebutkan 5 prinsip-prinsip dasar etika profesi, yaitu:
1. Prinsip Integritas
2. Prinsip Objektivitas
3. Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional
4. Prinsip Kerahasiaan
5. Prinsip Perilaku Profesional
Selain itu, Kode Etik Profesi Akuntan Publik juga merinci aturan mengenai hal-hal berikut ini:
Seksi 200 Ancaman dan Pencegahan
Seksi 210 Penunjukan Praktisi, KAP, atau Jaringan KAP
Seksi 220 Benturan Kepentingan
Seksi 230 Pendapat Kedua
Seksi 240 Imbalan Jasa Profesional dan Bentuk Remunerasi Lainnya
Seksi 250 Pemasaran Jasa Profesional
Seksi 260 Penerimaan Hadiah atau Bentuk Keramah-Tamahan Lainnya
Seksi 270 Penyimpanaan Aset Milik Klien
Seksi 280 Objektivitas – Semua Jasa Profesional
Seksi 290 Independensi dalam Perikatan Assurance
(Ringkasan materi pada acara Sosialisasi Kode Etik Profesi Akuntan Publik di Universitas Kristen Satya Wacana, Jumat, 16 Oktober 2009 – Indira dan Cahya)

Rangkuman mata kuliah etika profesi minggu 1

ETIKA PROFESI

Pengertian Etika
• Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” artinya karakter, watak kesulitan atau adat.
• Menurut Martin (1993), “etika adalah tingkah laku sebagai standart yang mengatur pergaulan manusia dalam kelompok sosial”.
• Menurut Drs. H Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
• Secara umum etika adalah pertimbangan norma dan nilai-nilai yang dapat diterima atau masuk akal dan dijadikan kewajiban dalam diri setiap individu secara timbal balik.

Menurut Keraf (1991:23) terdapat 2 macam etika :
1. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia dapat bertindak secara baik dan menghindari hal-hal yang buruk sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Motivasi Untuk beretika
1. Mengejar kesenangan pribadi
2. Komitmen Moral
Kedua hal diatas dimotifasi oleh masalah moral dan ekonomi.

Profesi adalah suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian
Etika Profesi adalah studi tentang benar, salah, baik dan buruk yang berkaitan dengan perilaku seseorang dalam menjalankan profesinya.